Seorang Usahawan besar Indonesia suatu hari menuturkan Bahwa ia “Perang Batin” ketika berpikir tentang penggantinya di puncak perusahaan. Di satu sisi ia ingin penggantinya adalah anaknya sendiri. Akan tetapi di sisi lain, ia tidak bisa membohongi hatinya bahwa posisi tertinggi seyoginya dipegang professional, yang kemampuan dan teruji.
Lembaga bisnis terbesar perusahaannya menampung lebih dari 200.000 karyawan. Seandainnya ia keliru mengambil langkah, taruhannya sangat besar dan berat. Bukan saja perusahaannya akan gulung tikar. Tetapi, karyawannya akan kehilangan pekerjaan, nasib setengah juta manusia yang hidupnya banyak bergantung pada perusahaan ini pasti akan sangat menyedihkan.
Setelah berpekan-pekan dihimpit oleh pemikiran ini, konglomerat tersebut memanggil ke-lima anaknya, yang rentang umurnya (ketika Itu) antara 11 tahun sampai 18 tahun. Kepada mereka ia menggugah supaya bersekolah secara maksimal ingin menuntut ilmu di dalam negeri sampai tingkat doctor, ia persilakan. Hendak sekolah keluar negeri sampai tingkat doctor ia sama sekali tidak keberatan, ia akan menyiapkan anggarannya, juga waktu untuk mengunjungi anak-anaknya di luar negeri.
Kepada anak-anaknya, usahawan berusia 53 tahun itu menyatakan salah satu kunci menuju ruang sukses adalah pendidikan. Tanpa pendidikan yang memadai, lupakan semua cita-cita “menjadi Orang Besar”. Ia pun menegaskan bahwa ia akan mengambil jalur professional. Anak-anaknya, diajak ikut bertarung diruang paling kecil, dan lantai paling bawah. Tidak ada fasilitas VIP. Tidak ada istilah anak Bos.
Takala anak sulung dan anak kedua usai menyelesaikan Masternya di Harvad University, salah satu perguruan terbaik di dunia, usahawan tersebut meminta kedua anaknya itu bekerja dulu di Amerika Serikat selama 2 tahun. lolos disana, kedua anaknya diminta bekerja di Hongkong selama 1 tahun. Lalu mampir di singapura selama setengah tahun. Kembali ke Indonesia dalam usia 24 tahun. Dan 25 tahun. Tigga anak lainnya, diminta menempuh jalur yang sama.
Tiba di Jakarta, kedua anak tersebut datang ke kantor dengan kemeja lengan panjang, dasi bermerek, sepatu kulit mengkilap. Usahawan ini tertawa lebar. Ia meminta anaknya mengenakan sepatu lapangan, mencopot dasi, melipat kemeja lengan panjang dan langsung turun ke lapangan.
“mereka bekerja dilapangan selama 3bulan. Bukan sebagai mandor, tetapi sebagai anak buah biasa. Lolos dari tahap ini, kedua anaknya diperkenankan menjadi mandor, lalu coordinator mandor selama setengah tahun, lalu lolos dari lini ini, mereka menjadi manajer, kemudian generasi manager pada usia 26 tahun dan 27 tahun. Mereka lolos dengan sangat baik, maka saya memperomosikan sebagai direksi, “tutur pria amat cerdas yang suka tertawa terpingkal ini.
Akan tetapi ketika tawaran itu saya utarakan, kedua anak saya menolak dengan segala hormat. Mereka menyatakan sekolah dari ayah sudah cukup. Kini mereka ingin bekerja di perusahaan multi nasional yang bermarkas di Singapura. Dan tawaran itu sudah datang.
Usahawan ini binggung setengah mati. Ia tidak terima dan menyatakan “Capek-Capek saya didik kalian sampai jadi jagoa, koq malah Hijrah ke perusahaan lain?”
Namun takala anak-anaknya menjelaskan, ia bisa menerima. “Tahu apa yang mereka katakana? Mereka enggan menjadi jago kandang. Ntar kalo saya akan pensiun, baru mereka akan balik. Merekapun akan membanggun luas relasi di luar negeri.”
Adapun anak ke-3, 4, 5 kini sudah selesai pula kuliahnya di Amerika Serikat. Ketiganya, seperti kakak-kakaknya, diharuskan bekerja dulu di Amerika, lalu Hongkong dan Singapura. Ketika kembali ke Indonesia mereka bekerja lebih dulu di lapangan lalu masuk ruang ber-AC.
“Bagaimana kalau mereka berlima menolak bekerja di perusahaan Anda..????”
Usahawan ini terkejut mendapatkan pertannyaan ini. ia menyatakan, ia serahkan kepada Yang Maha Pencipta. Ia tentu tidak bisa mengganduli seluruh anaknya. “tetapi masak ia tak seorang pun dari ke 5 anak saya yang berminat? Kalau pun ternyata demikian, ya saya serahkan ke professional……
“Hidup ini Sudah Susah, jangan di buat makin Susah…”””

0 komentar:

Posting Komentar